HERMENEUTIKA
AL QUR’AN
(oleh
: Saebani H.)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akhir-akhir
ini di kalangan kaum muslimin - terutama kaum modernis – telah banyak
memanfaatkan Hermeneutika sebagai salah satu instrumen untuk menggali isi dan
kandungan al Quran. Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan
hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah
dirumuskan oleh para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan
dikritisi.
Penggunaan
hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah
dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah
dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu
ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi
ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al
Quran.
Penggunaan
Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang
beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada
pula yang menolaknya. Para filosof muslim tidak menelan mentah-mentah filsafat
Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Bagi
mereka yang menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Tulisan
ini akan memaparkan sekitar polemik pada masalah tersebut.
B. Rumusan masalah
1.
Apakah pengertian hermeneutika, fungsi/manfaat
dan cara penggunaannya?
2.
Perlukah penafsiran Al Qur’an dengan hermeneutika?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian, fungsi/manfaat dan aplikasi hermenuetika
2.
Mengetahui kontroversi hermeneutic dan
menyimpulkan perlu atau tidaknya penafsiran Al Qur’an dengan hermeneutika.
D. Batasan masalah
Dalam makalah ini penulis berusaha membatasi pembicaraan,
dimana sesungguhnya pembicaraan tentang hermeneutika pasti akan dimulai dan
masuk pada ranah filsafat. Maka penulis hanya berbicara pada masalah
pengertian, manfaat dan cara penggunaanya, tak lupa penulis juga sedikit
menyinggung sejarah perkembangan hermeneutika serta wilayah kerjanya. Selain
itu, juga akan masuk pada korelasi dan komparasi hermeneutika dan
tafsir-ta’wil, maka penulis hanya menyinggung sedikit saja tanpa pembahasan
lebih dalam.
BAB
II
PENGERTIAN
HERMENEUTIKA
A. Berkenalan dengan hermeneutika
1. Hermeneutika
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari
kata kerja Yunani hermeneuien yang
bermakna menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Jika ditelusuri
berasal dari mitologi Yunani, Hermes,
dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan kepada manusia, dimana Hermes harus mampu
menginterpretasikan/ menerjemahkan pesan yang dibawa ke dalam bahasa yang
digunakan manusia. Dengan demikian, hermeneutika yang diambil dari peran Hermes
adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan sebuah teks[1],
melalui percobaan[2].
Ada juga yang mengatakan, hermeneutika adalah
satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan
maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna
sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas
atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk
menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gambling[3].
Plato memilih sebutan techne hermeneias,
aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles,
dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan
istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas
menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk
mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks. Schleiermacher
(1990:93), menggunakan Hermeneutika untuk memahami orisinalitas arti dari
sebuah teks, bahkan lebih dari itu, arti Hermeneutika baginya adalah untuk
memahami sebuah wacana (discource) dengan baik kalau perlu lebih baik
dari pembuatnya (to understand the discourse just well as well as and even
better than its creator)[4].
2. Sejarah
singkat hermeneutika
Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan
secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup
signifikan. Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato
(429-347 SM). Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika
artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan
otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika
sebagai ilmu interpretasi alegoris.
Makna
hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam
teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk
diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika
berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum.
Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841).
Pergeseran
fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika adalah
ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Perubahan
ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang berpangkal pada
semangat rasionalisasi, dimana akal menjadi patokan bagi kebenaran yang
berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh akal atau
metafisika. Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
(1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri
Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya,
teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang
manusia. Pemikiran Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm
Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial.
Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi
di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans Georg
Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas (1929- )[5].
Jadi,
Hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami sebuah teks suci pada awal
abad 17 dan 18 M. Ketika pemikiran tentang wacana bahasa, filsafat, dan
keilmuan lainnya berkembang pesat, hermeneutik mulai dilirik masyarakat Eropa
untuk memamahi kitab suci injil. Hal ini bertujuan agar mereka bisa menafsirkan
kehendak Tuhan kepada manusia yang telah termanifestakan dalam sebuah teks
bernama Injil. Sedangkan kajian hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan yang
mapan mulai marak pada abad ke 20[6].
Menurut
Angga Prilakusuma, hermeneutika tidak lahir dari ruang kosong. Ada lingkungan yang
turut mempengaruhi kelahiran hermeneutika serta membentuk konsepnya. Dia
menuliskan berdasarkan analisis Werner, setidaknya ada tiga lingkungan yang
mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika hingga sekarang:
a.
Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani
b.
Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami
masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka
c.
Masyarakat Eropa zaman pencerahan
(Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa
hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Menurut
Angga, Ketiga miliu ini tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi merupakan
tahapan-tahapan. Berdasarkan analisis tersebut, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi
sejarah hermeneutika menjadi tiga fase, yaitu:
a.
Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan
Kristen
b.
Dari teologi Kristen yang problematik ke
gerakan rasionalisasi dan filsafat
c.
Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat
hermeneutika[7]
B. Manfaat hermenuetika
Sebagai teknik
untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk
:
1. Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan
teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari aktifitas hermeneutika[8].
Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana
kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation
serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
2. Membantu mempermudah menjelaskan teks,
termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan
waktu, hubungan teks dengan situasi atau lingkungan di mana teks disusun.
Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah
didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri
khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas
tema yang sama.
3. Memberi arahan untuk masalah yang terkait
dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap
teks hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki
dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks
hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum
Islam[9].
C. Tokoh Islam
Dari
filsafat hermeneutika inilah akhirnya hermeneutika dikembangkan dan diujicoba
untuk dimasukkan dalam kajian-kajian al-Quran oleh Fazlur Rahman (1919-1998),
Aminah Wadud, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, yang
kemudian diadapsi oleh pemikir-pemikir yang tergabung dalam Jaringan Islam
Liberal (JIL) seperti Ulil Abshar Abdalla, Lutfhie Assyaukanie dan Taufik Adnan
Amal. Demikianlah yang penulis rangkum dari tulisan Angga Prilakusuma.
D. Aplikasi hermeneutika
Sekilas Nampak ada persamaan antara hermeneutika dan tafsir,
keduanya sama-sama membahas dan berupaya member makna teks. Namun jika dirunut
ada perbedaan signifikan, yaitu; hermeneutika digunakan untuk membuktikan
keontetikan teks, menselaraskan pertentangan antar teks, memberi interpretasi
atas teks yang pada mulanya dalam ranah filologi[10]
kemudian mulai masuk filsafat dan teologi. Sedangkan tafsir khusus pada
teks Al Qur’an dengan berbagai
ketentuan.
Hermeneutika
sebagai seni menafsirkan mengharuskan tiga komponen, yakni teks, penafsir dan
penyampaian kepada pendengar. Hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa
yang diinginkan oleh si pembuat teks tersebut[11].
Dalam
proses tersebut, terdapat pertentanggan antara pikiran yang diarahkan pada
objek dan pikiran penafsir sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus
mengenal pesan dan kecondongan sebuah teks, lalu meresapi isi teks dan
mengusainya (yang awalnya asing, menjadi milik/pemahaman/ego penafsir sendiri).
Suatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita reduksi.[12]
Ada dua
pendapat mengenai bisa/tidakkah aplikasi hermeneutika terhadap Al Qur’an.
Pertama tidak bisa, dan yang kedua bisa. Mengapa bisa digunakan menjadi metode
interpretasi terhadap teks Al Qur’an?
Dalam
dunia ilmiah akademik adalah sah-sah saja mengeluarkan pendapat dan
mempertahankan pendapatnya, selama pendapat itu berdasarkan dalil/bukti yang
kuat, teori-teori yang mengilhaminya dan dapat diuji validitasnya. Jika
dikembalikan dalam pijakan filsafat ilmiah akademik, maka pendapat Mohammad
Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd adalah
sah dan logis. Keduanya sama berpendapat bahwa hermeneutika dapat diterapkan
pada Al Qur’an. Menurut Arkoun, Al Qur’an memberikan ruang untuk interpretasi
sehingga akan dapat diterapkan dimanapun dan kapanpun. Adapun Zayd, berpendapat
bahawa Al Qur’an adalah kalam Ilahi yang menggunakan bahasa manusia, terlebih
penulisannya pun setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw yang bisa dikatakan ada
dominasi kekuasaan untuk menghegemoni khot Al Qur’an. Selain itu, periode
turunnya Al Quran lebih dari 20 tahun dalam komunitas budaya Arab, sehingga
dapat dikatakan sebagai hasil budaya (muntaj
ats tsaqofi). Al-Quran yang terbentuk melalui realitas, budaya dan
terungkapkan dalam bahasa menjadikan al-Quran sebagai teks bahasa. Sedang
realitas, budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya,
karena itu al-Quran juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma
penafsiran yang dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang
selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah[13]
Hermeneutika
adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut
meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Yayan Nurbayan
menambahkan, Menurut Komaruddin (1996:126) hermeneutika memiliki banyak persamaan
dengan ilmu tafsir yang sudah dikenal sejak abad pertama hijriyah Walaupun
hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat yang
memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa digunakan, tentunya
dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Suatu peradaban bisa saja mengimport
suatu konsep, tentunya dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang
disebut borrowing proses. Jika modifikasi konsep ini melibatkan
konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigma
Shift) tidak dapat dielakkan[14].
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya berbicara tentang
turun-temurunnya tafsir berdasarkan riwayat pada tiap generasi yang pada
akhirnya bersentuhan pula dengan pandangan, budaya dan bahkan keyakinan atau
pun tradisi yahudi, bahkan israilliyat[15],
nasrani (baik yang sudah masuk Islam
tetapi masih memegang tradisi mereka ataupun yang belum memeluk Islam),
sehingga dalam tafsir masing-masing tokoh ada beberapa perbedaan[16]. Hal
ini juga yang menjadi salah satu pandangan adanya interpretasi terhadap teks Al
Qur’an.
Jika
berdasarkan perspektif dan standing
position tersebut maka dengan demikian bisa saja hermeneutika dijadikan
metode dan diterapkan untuk menafsirkan teks-teks Al Qur’an, dan sah-sah saja.
Adapun pun pendapat yang menolaknnya akan penulis bahas pada bab selanjutnya.
BAB
III
HERMENEUTIKA
AL QUR’AN
A. Ayat yang dianggap perlu penerapan
hermeneutika
Pada prinsipnya,
hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatan manusia yang berkaitan
dengan berpikir, berbicara, menulis dan meng-interpretasikan selalu berkaitan
dengan bahasa, karena manusia memahami dengan bahasa. Kata-kata sebagai satuan
unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda yang
diberikan pada realitas. Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu berupa
penafsiran. Oleh karena itulah persoalan filsafat abad 21 ini selalu terkait
dengan persoalan bahasa[17].
Menurut penulis, begitu juga dengan persoalan hermeneutika, persoalaannya
adalah bagaimana mendapatkan kata-kata yang sesuai dalam memberikan pemahaman.
Ketika hermeneutika dianggap sebagai kebutuhan dalam menafisrkan Al Qur’an,
atas dasar banyaknya kata-kata yang “tidak jelas”, maka sebenarnya adalah
kelemahan kita dalam bidang memahami bahasa Arab[18].
Ayat-ayat
mutasyabihat adalah ayat-ayat yang kurang terang maknanya. Menurut ulama mutakallimin adalah ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan dzat atau sifat Allah swt. dan biasanya
menyangkut soal kepercayaan/keyakinan (aqidah),
dan urusan keakhiratan. Ayat-ayat yang spesifik seperti itulah yang
membutuhkan interpretasi / hermeneutika agar lebih mudah dipahami dan dapat
disesuaikan dengan kondisi. Bagi ulama salaf
dan mutaqaddimin ayat-ayat
mutasyabihat tidaklah banyak. Hal ini karena mereka mempunyai kesanggupan untuk
memahaminya. Namun setelah masa mutaakhirin
bilangan ayat-ayat mutasyabihat justru makin bertambah[19].
B. Mengapa harus hermeneutika?
Muhammad Arkoun,
seorang pemikir Al Jazair kontemporer mengatakan bahwa Al Qur’an itu memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Dengan demikian ayat selalu
terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal[20].
Arkoun
juga membagi wahyu menjadi dua tingkatan:
1.
Umm al-kitâb. Wahyu jenis ini berada di lauh al-mahfûzh, bersifat abadi, tak
terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi
2.
Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi
dunia (terrestres edition). Termasuk dalam wahyu ini adalah al-Quran dan Bibel.
Menurutnya wahyu edisi dunia ini telah mengalami modifikasi, revisi dan
substitusi.
Selain itu
Arkoun juga membagi sejarah al-Quran dalam tiga periode:
1.
Masa Prophetic
Discourse (610-632 M). Al-Quran periode ini lebih suci dan otentik
dibanding periode-periode lain. Sebabnya al-Quran periode ini berbentuk lisan
yang terbuka untuk semua arti yang mungkin.
2.
Masa Official
Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat bahwa al-Quran di
masa ini telah tereduksi dari al-kitâb
al-mûhâ menjadi tak lebih dari buku biasa. Karena itu mushaf menurutnya tak
patut untuk disucikan.
3.
Masa ortodoks (324 H/936 M)[21]
Nasr Hamid Abu Zayd memilih untuk
mengaplikasikan metode analisis teks bahasa-sastra. Abu Zayd berpijak pada
pendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran
menggunakan bahasa manusia. Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan
manusia biasa. Menurut Abu Zayd, al-Quran telah terbentuk oleh realitas dan
budaya Arab selama kurang lebih 20 tahun. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa al-Quran
merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî).
Al-Quran yang terbentuk melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa
menjadikan al-Quran sebagai teks bahasa. Sedang realitas, budaya dan bahasa itu
sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya, karena itu al-Quran
juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang
dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan
dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah[22].
BAB
IV
PEMBAHASAN
A. Metode Penafsiran Al Qur’an
1.
Pengertian tafsir dan ta’wil
Tafsir secara etimologi mengandung arti antara lain ; al i_dloh wa at tabyi_n (menjelaskan dan
menerangkan, asy syarh (keterangan), at tafsiroh (alat-alat yang khusu
digunakan untuk mendeteksi). Adapun menurut terminology adalah usaha yang
bertujuan menjelaskan Al Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya, agar
yang tidak jelas menjadi jelaas, sang samar-samar menjadi terang, yang sulit
dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga Al qur’an sebagai pedoman hidup
manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya
kebahagiaan hidup dunia dan akherat[23].
Demikian pengertian yang disimpulkan dari berbagai (pendapat) devinisi tafsir
oleh Rif’at Syauqi Nawawi.
Masih menurut Rif’at, ta’wil dari segi etimologi adalah murodif (identik) dengan tafsir, numun
juga mempunyai arti ; ar ruju’ (yakni
mengembalikan pada proporsi yang sesungguhnya. Ash sharf (memalingkan suatu lafazh), as siya_sah (siasat jitu untuk menemukan makna yang tepat). Adapun
secara terminology adalah membelokkan
lafazh/kalimat dari makna dohir ke makna lain, sehingga dengan cara
demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok/sesuai dengan jiwa ajaran Al
Qur’an dan Al Hadits[24].
2.
Perbedaan tafsir dan ta’wil
No
|
Tafsir
|
Ta’wil
|
a
|
Menyangkut soal yang umum
|
Menyangkut soal khusus
|
b
|
Pengertiang tafsir lebih luas
|
Lebih spesifik
|
c
|
Pendekatan riwayat
|
Pendekatan nalar
|
d
|
Tidak ada perselisihan pendapat
|
Ada perselisihan pendapat
|
e
|
Makna diambil dari yang tersurat
|
Diambil dari isyarat/ tersirat
|
f
|
Ayat biasa
|
Ayat kudus
|
g
|
Metodenya : Quran >< Quran,
Quran >< hadits, quran ><
qoul sahabat.
|
Metodenya : istinbath (penggalian)
dengan ilmu-ilmu alatnya.
|
3.
Metode dan ketentuan tafsir
a.
Metode/pendekatan tafsir
1)
Tafsir bil ma’tsur, yaitu penafsiran berdasarkan
sanad[25]
dan periwayatan[26]
yang meliputi tafsirul qur’an bil qur’an,
tafsirul qur’an bis sunnah, dan tafsirul
qur’an bi aqwal al sahabat[27].
2) Tafsir
bi al ra’yi, yaitu penafsiran dengan menggunakan akal dengan memperluas
pemahaman yang terkandung di dalamnya[28].
Rif’at menyebutnya tafsir bid dirayah
dan atau tafsir bil ijtihad yaitu
penafsiran berdasarkan ijtihad[29].
3) Tafsir
bil Isyarah atau disebut isyari yaitu tafsir berdasarkan isarat tertentu,
dan mencampur antara makna dohir dan batin[30],
yang pola pemahamannya tidak berpijak pada makna dohir melainkan pada makna
yang tersirat (isyarah) yang Nampak bagi mereka yang menekuni dunia tasawuf[31].
b.
Ketentuan
Menurut tengku Zulkarnain, bahwa untuk
menafsirkan Al Qur’an hendaknya menguasai beberapa ilmu, diantarannya ; lughot, nahwu, sharf, isytiqoq, ma’ani,
bayan, badi’, qiraat, ‘aqaid, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh mansukh, fiqh,
dan hadits[32].
Sebagaimana dikutip Gus Aa, Quraisy
Shibah mengatakan beberapa prinsip pokok dalam menafsirkan Al Qur’an, antara
lain;
1)
Setiap muslim/setiap orang wajib untuk
mempelajari kitab sucinya, namun bukan berarti bebas menafsirkan dan menyebarluaskan
pendapatnya tanpa memenuhi persyaratan.
2)
Berpikir secara modern, tidak berarti
menafsirkan secara spekulatif/ terleps dari kaidah yang telah disepakati ulama[33].
Dalam tafsir bil ma’tsur harus
mengetahui ilmu jarh wa ta’dil karena
dalam hal ini ada; a) pemalsuan riwayat, b) masuknya israilliyat, c) dan penghapusan sanad. Sedangkan dalam tafsir bir
a’yi harus memahami tafsir bil ma’tsur dan persyaratan tersebut diatas juga
tentang ta’arudlul ayat wal hadits[34].
Penulis menambahkan ilmu munasabtil qur’an.
B. Penafsiran Al Qur’an dengan hermeneutic?
1.
Perbedaan antara tafsir dan hermeneutika
Muhammad saw
sebagai penerima wahyu Al Qur’an sudah barang tentu memahami Al Qur’an karena
dengan bahasanya sendiri. Allah Swt. telah memberikan otoritas kepada Rasulullah Saw. untuk
menjelaskan arti dan kandungan al-Quran kepada umatnya.
(ﻭﺃﻨﺰﻠﻨﺎ ﺇﻠﻴﻚ ﺍﻠﺬﻜﺭ
ﻠﺗﺒﻴﱢﻦ ﻠﻨﺎﺱ ﻤﺎﻨﺰﱢﻝ ﺇﻠﻴﻬﻢ ﻮﻠﻌﻠﻬﻢ ﻴﺗﻓﻜﺮﻮﻦ)
Maka Nabi
merupakan the first interpreter of The
Holy Qoran dengan penafsiran yang sederhana dan penjelasan berdasar makna
bahasa yang primer dan menucukupkan penafsiran secara global[35].
Meskipun
demikian Rasulullah Saw. tidak mengurai arti al-Quran secara keseluruhan,
melainkan apa yang susah dipahami oleh para sahabat saja. Penjelasan beliau
Saw. terhadap ayat-ayat al-Quran terdokumentasikan dalam bentuk hadits atau
sunnah yang diriwayatkan dari generasi ke generasi.
Dalam
Makalah Angga Prilakusuma disajikan komparasi hermenutika dan tafsir, sedikit
penulis rangkum dan perjelas sebagai berikut;
a.
Jika dilihat dari faktor munculnya
hermeneutika, ide untuk menerapkan hermeneutika muncul karena desakan
rasionalisasi yang dipelopori oleh filsafat Yunani waktu itu dimana Syair Homer
yang dianggap mengandung pesan Ilahi, keotentikan teks kitab suci Yahudi dan
Nasranai, pengaruh lingkungan penuliskitab suci maka dibutuhkanlah hermeneutika
untuk “mendamaikan”.
b.
Dari segi pewahyuan, al-Quran sendiri telah
menjelaskan bahwa peran Nabi Saw. dalam proses pewahyuan adalah pasif. Nabi
Saw. hanya menerima wahyu tanpa merubah redaksinya sedikit pun. Bahkan Allah
Swt. sendiri telah menyampaikan ancamannya terhadap Rasulullah Saw. jika beliau
Saw. lancang mengutak-atik wahyu yang diturunkan padanya. Artinya tetap utuh.
c.
Hermeneutika dalam hal ini adalah teori
interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi.
Sebab tak mungkin kita menyelidiki sisi psikologis Tuhan sesuai konsep
Schleiermacher misalkan. Atau menelusuri komponen sejarah yang mempengaruhi
Tuhan, seperti teori Dilthey. Sedang
konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt.
d.
Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur
selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa
Arab. Tafsir bi al-ra’yi dan alisyârî pun disyaratkan untuk tidak menafikan dan
menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para
ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat
diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran
terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika,
interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam
penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan
perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan
lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana
kedua factor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian factor
tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.
e.
Jika dibandingkan antara tafsir dan
hermeneutika, tafsir lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer
tafsir dalam Islam adalah al- Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang
berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang
jelas. Masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan
penetapan syarat-syarat mufassir. Akibat masalah otentisitas Bibel, agama
Yahudi dan Kristen tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang
berotoritas. Karena itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani
untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Ironisnya, ketika
hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena
dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika
Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno[36].
f.
Yayan Nurbayan menambahakan, Implementasi
Hermeneutika dalam Islam berbeda dengan Hermeneutika dalam dunia Kristen. Dalam
Kristen digunakan untuk mencari orsinialitas kitab suci. Dalam dunia keilmuwan
Islam digunakan bukan untuk mencari
keotentikan teks al Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling
mendekati kebenaran. Dan kebenaran dari suatu tafsir hanya Allah yang
mengetahui (sehingga seorang mufassir sehebat apapun akan berkata Wallahu
a’lam).
a.
Dalam Islam wahyu (revelation)
menempati posisi penting. Rasio an sich sebagai sumber inspirasi seperti
pendapatnya Habermas berbeda dengan Islam yang menempatkan wahyu dan rasio
sekaligus yang berfungsi sebagai sumber dan penjelas termasuk juga ilmu
pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan epistemologi Hermeneutika Kritis dan
Islam[37].
2.
Wilayah tafsir dan hermeneutika
Jika kita melihat pengertian ilmu Tafsir di atas serta pengertian
Hermeneutika sebelumnya kedua ilmu ini sama-sama membahas tentang makna pada
teks. Hanya saja ilmu Tafsir khusus digunakan untuk memahami kandungan makna
teks al Quran. Selain itu, perangkatnya (ilmu-ilmu) pun sangat banyak. Dari
segi ilmu bahasa (nahwu, shorof, balaghoh) itu bisa juga digunakan untuk
mempelajari teks-teks selain Al Qur’an, namun ketika ilmu tersebut saja yang
digunakan untuk menginterpretasikan suatu ayat
Al Qur’an, ternyata masih sangat kurang dan tidak bisa.
Tafsir al-Quran tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Para
ulama telah menggariskan persyaratan yang amat ketat untuk menjadi seorang mufassir.
Persyaratan tersebut tidak hanya mencakup segi ilmu dan intelektualitas, tapi
juga mempertimbangkan dimensi spiritual.
Hermeneutika lebih mengutamakan rasio/ akal, dan mencurigai segala
sesuatu sehingga membutuhkan riset untuk membuktikan kebenaran. Sedangkan dalam
Islam rasio bukanlah sumber utama, melainkan wahyu. Hermeneutika lebih cocok
untuk teks-teks di luar Al Qur’an, yaitu teks-teks yang diragukan
keotentikannya dan teks-teks yang saling berbenturan satu sama lain, sedangkan
Al Qur’an tidak. Sementara itu ada beberapa batasan bagi hermeneutika;
1) sebagai metodologi filologi
2) sebagai teori penafsiran
kitab suci
3)sebagai ilmu pemahaman
linguistic
4) sebagai dasar metodologis
ilmu-ilmu sejarah
5) sebagai fenomenologi desain
dan pemahaman eksistensial
6) sebagai system penafsiran[38]
BAB
V
KESIMPULAN
Setelah mengetahui definisi hermeneutika, manfaat, sejarah
perkembangannya, dan aplikasinya serta perbandingan dengan tafsir Al Qur’an
dalam Islam, di penghujung makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa hermeneutika
mempunyai latar belakang dan metode yang berbeda bahkan cenderung bertentangan
dengan karakter al- Quran, tafsir, serta pandangan hidup Islam. Karena itu
hermeneutika tidak dapat diterapkan sebagai metode tafsir al-Quran. Mengapa?
1.
Al Quran adalah kitab suci yang merupakan
firman Allah SWT. Padanya terdapat petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat
manusia dan merupakan mukjizat, serta keotentikannya tidak terbantahkan karena
Allah swt sendirilah yang menjaga. Jika kita menerima hermeneutika sebagai
instrumen untuk menafsirkan al Quran, maka keyakinan tersebut akan runtuh.
2.
Jika kita menerima Hermeneutika dalam
penafsiran al Quran maka akan muncul sikap syak (ragu) pada setiap
kebenaran al Quran.
3.
Ulama telah menentukan metode dan alat yang
diperlukan untuk menafsirkan/ menginterpretasikan suatu ayat Al Qur’an dengan
standarisasi yang ketat, sehingga tidak memerlukan hermeneutika.
DAFTAR PUSTAKA
Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, 1992, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang,
Jakarta
Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca dan Memmahami Konstruksi Al Qur’an, Indomedia Group,
Jakarta
Musyrifah Sunanto, 2003, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Kencana,
Bogor
Munthoha, dkk, 1998, Pemikiran
da Peradaban Islam, UII press, Yohyakarta.
Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin,
2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD,
Yogyakarta
Ibnu Khaldun, penerjemah Ahmadie Thoha, 2000, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka
Firdaus, Jakarta
Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit Umat Masa Kini Jawaban Atas Buku Rapot Merah Aa
Gym (edisi revisi), Yayasan Al Hikmah, Jakarta
Internet :
lampiran
1
Hal-hal
yang mempengaruhi lahirnya hermeneutika
menurut
Weaner
1. Masyarakat
yang terpengaruh mitologi Yunani
2. Masyarakat
Yahudi dan Nasrani dengan masalah kitab suci
3. Masyarakat
Eropa zaman pencerahan
Penulis buat dalam peta konsep berikut;
Lampiran
2
Sejarah
hermenenutika menurut Hamid Fahmi Zarkasyi
Lampiran
3
Perubahan
ranah hermeneutika
Lampiran 4
Perubahan
Objek Hermeneutika
Lampiran 5
Perbedaan
Tafsir dan Hermeneutika
TAFSIR
|
HERMENEUTIKA
|
1.
Berangkat dari kosakata
2.
Menafsirkan makna kata yang belum dipahami.
3.
Pendekatan nalar & wahyu
4.
Sumber yang jelas & otentik
5.
Mempunyai fondasi penafsiran yang kuat
(Qur’an, Rosul, &sahabat)
6.
Jalur transmisi yang jelas dan terpercaya
7.
Syarat dan metode tafsir yang ketat
8.
Tafsir khusus pada Al Qur’an
9.
Tidak sembarang orang
|
1.
Keotentikan dan kebenaran teks suci diragukan
2.
Membuktikan keotentikan teks suci
3.
Mendamaikan pertentangan antar teks suci
4.
Berangkat dari kerancuan teks suci
5.
Pendekatan nalar
6.
Menyamakan semua teks
7.
Perbedaan ruang, waktu, internal penafsir,
ilmu, poitik sangat berpengaruh dan menjadikan hermeneutika bernilai
relative.
8.
Tepat untuk teks-teks buatan manusia
9.
Siapa saja bisa berinterpretasi
|
[1] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif
Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD,
Yogyakarta, hal 15-17.
[2]
Angga Prilakusuma, http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/Hermeneutika.pdf
[5]
Angga Prilakusuma : http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/Hermeneutika.pdf
[7]
Angga Prilakusuma : http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/Hermeneutika.pdf
[8]
Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD,
Yogyakarta, hal. 17.
[10]
Ilmu tentang tata bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarahyang terdapat di bahan-bahan tertulis.
[12]
Edi Mulyono, ibid. hal 20
[15] Musyrifah Sunanto,
2003, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan
Ilmu pengetahuan Islam, Kencana, Bogor, hal. 59
[16] Ibnu Khaldun, penerjemah Ahmadie Thoha, 2000, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka
Firdaus, Jakarta. Hal 550-553
[17]
Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD,
Yogyakarta, hal. 17
[18] Rif’at Syauqi Nawawi dan M.
Ali Hasan, 1992, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan
Bintang, Jakarta, hal. 145-146.
[19]
Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, 1992, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 145-146.
[20] Gus AA dan Ziyad At Tubany,
2006, Membaca dan Memmahami Konstruksi Al
Qur’an, Indomedia Group, Jakarta, hal. 2
[23]
Rif’at Syauqi Nawawi, Ibid, hal.
139-143
[24] Ibid, hal 143-144
[25]
Maksudnya diisnadkan pada penafsiran
sahabat,tabiin dan tabiit tabiin.
[26] Munthoha, dkk, 1998, Pemikiran da Peradaban Islam, UII press, Yohyakarta, hal. 43
[27]
Rif’at Syauqi Nawawi, ibid, hal. 151
[28] Musyrifah Sunanto, 2003, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Kencana,
Bogor, hal 60
[29]
Munthoha, ibid
[30] Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca dan Memmahami Konstruksi Al Qur’an, Indomedia Group,
Jakarta, hal 2
[31]
Rif’at, ibid, hal 156
[32]
Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham
Penyakit Umat Masa Kini Jawaban Atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi),
Yayasan Al Hikmah, Jakarta, hal. 34-37
[33]
Gus Aa. Ibid, hal 26-27
[35]
Gus AA, ibid, hal. 8
[38] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif
Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD,
Yogyakarta, hal 20-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar