Rabu, 10 Juli 2013

hermeneutika al qur'an


HERMENEUTIKA AL QUR’AN
(oleh : Saebani H.)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Akhir-akhir ini di kalangan kaum muslimin - terutama kaum modernis – telah banyak memanfaatkan Hermeneutika sebagai salah satu instrumen untuk menggali isi dan kandungan al Quran. Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan dikritisi.
Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran.
Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Para filosof muslim tidak menelan mentah-mentah filsafat Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Bagi mereka yang menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Tulisan ini akan memaparkan sekitar polemik pada masalah tersebut.

B.      Rumusan masalah
1.       Apakah pengertian hermeneutika, fungsi/manfaat dan cara penggunaannya?
2.       Perlukah penafsiran Al Qur’an dengan hermeneutika?
C.      Tujuan
1.       Mengetahui pengertian, fungsi/manfaat dan aplikasi hermenuetika
2.       Mengetahui kontroversi hermeneutic dan menyimpulkan perlu atau tidaknya penafsiran Al Qur’an dengan hermeneutika.
D.      Batasan masalah
Dalam makalah ini penulis berusaha membatasi pembicaraan, dimana sesungguhnya pembicaraan tentang hermeneutika pasti akan dimulai dan masuk pada ranah filsafat. Maka penulis hanya berbicara pada masalah pengertian, manfaat dan cara penggunaanya, tak lupa penulis juga sedikit menyinggung sejarah perkembangan hermeneutika serta wilayah kerjanya. Selain itu, juga akan masuk pada korelasi dan komparasi hermeneutika dan tafsir-ta’wil, maka penulis hanya menyinggung sedikit saja tanpa pembahasan lebih dalam.
BAB II
PENGERTIAN HERMENEUTIKA
A.      Berkenalan dengan hermeneutika
1.       Hermeneutika
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien yang bermakna menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Jika ditelusuri berasal dari mitologi Yunani, Hermes, dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan  kepada manusia, dimana Hermes harus mampu menginterpretasikan/ menerjemahkan pesan yang dibawa ke dalam bahasa yang digunakan manusia. Dengan demikian, hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan sebuah teks[1], melalui percobaan[2].
Ada juga yang mengatakan, hermeneutika adalah satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gambling[3].
Plato memilih sebutan techne hermeneias, aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks. Schleiermacher (1990:93), menggunakan Hermeneutika untuk memahami orisinalitas arti dari sebuah teks, bahkan lebih dari itu, arti Hermeneutika baginya adalah untuk memahami sebuah wacana (discource) dengan baik kalau perlu lebih baik dari pembuatnya (to understand the discourse just well as well as and even better than its creator)[4].

2.       Sejarah singkat hermeneutika
Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan. Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.
Makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841).
Pergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Perubahan ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang berpangkal pada semangat rasionalisasi, dimana akal menjadi patokan bagi kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh akal atau metafisika. Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia. Pemikiran Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial. Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans Georg Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas (1929- )[5].

Jadi, Hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami sebuah teks suci pada awal abad 17 dan 18 M. Ketika pemikiran tentang wacana bahasa, filsafat, dan keilmuan lainnya berkembang pesat, hermeneutik mulai dilirik masyarakat Eropa untuk memamahi kitab suci injil. Hal ini bertujuan agar mereka bisa menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia yang telah termanifestakan dalam sebuah teks bernama Injil. Sedangkan kajian hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan yang mapan mulai marak pada abad ke 20[6].
Menurut Angga Prilakusuma, hermeneutika tidak lahir dari ruang kosong. Ada lingkungan yang turut mempengaruhi kelahiran hermeneutika serta membentuk konsepnya. Dia menuliskan berdasarkan analisis Werner, setidaknya ada tiga lingkungan yang mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika hingga sekarang:
a.       Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani
b.      Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka
c.       Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Menurut Angga, Ketiga miliu ini tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi merupakan tahapan-tahapan. Berdasarkan analisis tersebut, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi sejarah hermeneutika menjadi tiga fase, yaitu:
a.       Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen
b.      Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat
c.       Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika[7]

B.      Manfaat hermenuetika
Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
1.       Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika[8]. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
2.       Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengan situasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.
3.       Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks  hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum Islam[9].

C.      Tokoh Islam
Dari filsafat hermeneutika inilah akhirnya hermeneutika dikembangkan dan diujicoba untuk dimasukkan dalam kajian-kajian al-Quran oleh Fazlur Rahman (1919-1998), Aminah Wadud, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, yang kemudian diadapsi oleh pemikir-pemikir yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti Ulil Abshar Abdalla, Lutfhie Assyaukanie dan Taufik Adnan Amal. Demikianlah yang penulis rangkum dari tulisan Angga Prilakusuma.

D.      Aplikasi hermeneutika
Sekilas Nampak ada persamaan antara hermeneutika dan tafsir, keduanya sama-sama membahas dan berupaya member makna teks. Namun jika dirunut ada perbedaan signifikan, yaitu; hermeneutika digunakan untuk membuktikan keontetikan teks, menselaraskan pertentangan antar teks, memberi interpretasi atas teks yang pada mulanya dalam ranah filologi[10] kemudian mulai masuk filsafat dan teologi. Sedangkan tafsir khusus pada teks  Al Qur’an dengan berbagai ketentuan.
Hermeneutika sebagai seni menafsirkan mengharuskan tiga komponen, yakni teks, penafsir dan penyampaian kepada pendengar. Hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan oleh si pembuat teks tersebut[11].
Dalam proses tersebut, terdapat pertentanggan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan dan kecondongan sebuah teks, lalu meresapi isi teks dan mengusainya (yang awalnya asing, menjadi milik/pemahaman/ego penafsir sendiri). Suatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita reduksi.[12]
Ada dua pendapat mengenai bisa/tidakkah aplikasi hermeneutika terhadap Al Qur’an. Pertama tidak bisa, dan yang kedua bisa. Mengapa bisa digunakan menjadi metode interpretasi terhadap teks Al Qur’an?
Dalam dunia ilmiah akademik adalah sah-sah saja mengeluarkan pendapat dan mempertahankan pendapatnya, selama pendapat itu berdasarkan dalil/bukti yang kuat, teori-teori yang mengilhaminya dan dapat diuji validitasnya. Jika dikembalikan dalam pijakan filsafat ilmiah akademik, maka pendapat Mohammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd  adalah sah dan logis. Keduanya sama berpendapat bahwa hermeneutika dapat diterapkan pada Al Qur’an. Menurut Arkoun, Al Qur’an memberikan ruang untuk interpretasi sehingga akan dapat diterapkan dimanapun dan kapanpun. Adapun Zayd, berpendapat bahawa Al Qur’an adalah kalam Ilahi yang menggunakan bahasa manusia, terlebih penulisannya pun setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw yang bisa dikatakan ada dominasi kekuasaan untuk menghegemoni khot Al Qur’an. Selain itu, periode turunnya Al Quran lebih dari 20 tahun dalam komunitas budaya Arab, sehingga dapat dikatakan sebagai hasil budaya (muntaj ats tsaqofi). Al-Quran yang terbentuk melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa menjadikan al-Quran sebagai teks bahasa. Sedang realitas, budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya, karena itu al-Quran juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah[13]
Hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Yayan Nurbayan menambahkan, Menurut Komaruddin (1996:126) hermeneutika memiliki banyak persamaan dengan ilmu tafsir yang sudah dikenal sejak abad pertama hijriyah Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa digunakan, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Suatu peradaban bisa saja mengimport suatu konsep, tentunya dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut borrowing proses. Jika modifikasi konsep ini melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigma Shift) tidak dapat dielakkan[14]. Dalam hal  ini, Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya berbicara tentang turun-temurunnya tafsir berdasarkan riwayat pada tiap generasi yang pada akhirnya bersentuhan pula dengan pandangan, budaya dan bahkan keyakinan atau pun tradisi yahudi, bahkan israilliyat[15],  nasrani (baik yang sudah masuk Islam tetapi masih memegang tradisi mereka ataupun yang belum memeluk Islam), sehingga dalam tafsir masing-masing tokoh ada beberapa perbedaan[16]. Hal ini juga yang menjadi salah satu pandangan adanya interpretasi terhadap teks Al Qur’an.
Jika berdasarkan perspektif dan standing position tersebut maka dengan demikian bisa saja hermeneutika dijadikan metode dan diterapkan untuk menafsirkan teks-teks Al Qur’an, dan sah-sah saja. Adapun pun pendapat yang menolaknnya akan penulis bahas pada bab selanjutnya.



BAB III
HERMENEUTIKA AL QUR’AN
A.      Ayat yang dianggap perlu penerapan hermeneutika
Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatan manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan meng-interpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa, karena manusia memahami dengan bahasa. Kata-kata sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda yang diberikan pada realitas. Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Oleh karena itulah persoalan filsafat abad 21 ini selalu terkait dengan persoalan bahasa[17]. Menurut penulis, begitu juga dengan persoalan hermeneutika, persoalaannya adalah bagaimana mendapatkan kata-kata yang sesuai dalam memberikan pemahaman. Ketika hermeneutika dianggap sebagai kebutuhan dalam menafisrkan Al Qur’an, atas dasar banyaknya kata-kata yang “tidak jelas”, maka sebenarnya adalah kelemahan kita dalam bidang memahami bahasa Arab[18].
Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang kurang terang maknanya. Menurut ulama mutakallimin  adalah ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan dzat atau sifat Allah swt. dan biasanya menyangkut soal kepercayaan/keyakinan (aqidah), dan urusan keakhiratan. Ayat-ayat yang spesifik seperti itulah yang membutuhkan interpretasi / hermeneutika agar lebih mudah dipahami dan dapat disesuaikan dengan kondisi. Bagi ulama salaf dan mutaqaddimin ayat-ayat mutasyabihat tidaklah banyak. Hal ini karena mereka mempunyai kesanggupan untuk memahaminya. Namun setelah masa mutaakhirin bilangan ayat-ayat mutasyabihat justru makin bertambah[19].

B.      Mengapa harus hermeneutika?
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Al Jazair kontemporer mengatakan bahwa Al Qur’an itu memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal[20].
Arkoun juga membagi wahyu menjadi dua tingkatan:
1.       Umm al-kitâb. Wahyu jenis ini berada di lauh al-mahfûzh, bersifat abadi, tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi
2.       Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition). Termasuk dalam wahyu ini adalah al-Quran dan Bibel. Menurutnya wahyu edisi dunia ini telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi.
Selain itu Arkoun juga membagi sejarah al-Quran dalam tiga periode:
1.       Masa Prophetic Discourse (610-632 M). Al-Quran periode ini lebih suci dan otentik dibanding periode-periode lain. Sebabnya al-Quran periode ini berbentuk lisan yang terbuka untuk semua arti yang mungkin.
2.       Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat bahwa al-Quran di masa ini telah tereduksi dari al-kitâb al-mûhâ menjadi tak lebih dari buku biasa. Karena itu mushaf menurutnya tak patut untuk disucikan.
3.       Masa ortodoks (324 H/936 M)[21]

Nasr Hamid Abu Zayd memilih untuk mengaplikasikan metode analisis teks bahasa-sastra. Abu Zayd berpijak pada pendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan manusia biasa. Menurut Abu Zayd, al-Quran telah terbentuk oleh realitas dan budaya Arab selama kurang lebih 20 tahun. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa al-Quran merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî). Al-Quran yang terbentuk melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa menjadikan al-Quran sebagai teks bahasa. Sedang realitas, budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya, karena itu al-Quran juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah[22].




BAB IV
PEMBAHASAN
A.      Metode Penafsiran Al Qur’an
1.       Pengertian tafsir dan ta’wil
Tafsir secara etimologi mengandung arti antara lain ; al i_dloh wa at tabyi_n (menjelaskan dan menerangkan, asy syarh (keterangan), at tafsiroh (alat-alat yang khusu digunakan untuk mendeteksi). Adapun menurut terminology adalah usaha yang bertujuan menjelaskan Al Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya, agar yang tidak jelas menjadi jelaas, sang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga Al qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akherat[23]. Demikian pengertian yang disimpulkan dari berbagai (pendapat) devinisi tafsir oleh Rif’at Syauqi Nawawi.
Masih menurut Rif’at, ta’wil dari segi etimologi adalah murodif (identik) dengan tafsir, numun juga mempunyai arti ; ar ruju’ (yakni mengembalikan pada proporsi yang sesungguhnya. Ash sharf (memalingkan suatu lafazh), as siya_sah (siasat jitu untuk menemukan makna yang tepat). Adapun secara terminology adalah membelokkan  lafazh/kalimat dari makna dohir ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok/sesuai dengan jiwa ajaran Al Qur’an dan Al Hadits[24].
2.       Perbedaan tafsir dan ta’wil
No
Tafsir
Ta’wil
a
Menyangkut soal yang umum
Menyangkut soal khusus
b
Pengertiang tafsir lebih luas
Lebih spesifik
c
Pendekatan riwayat
Pendekatan nalar
d
Tidak ada perselisihan pendapat
Ada perselisihan pendapat
e
Makna diambil dari yang tersurat
Diambil dari isyarat/ tersirat
f
Ayat biasa
Ayat kudus
g
Metodenya : Quran >< Quran,
Quran >< hadits, quran >< qoul sahabat.
Metodenya : istinbath (penggalian) dengan ilmu-ilmu alatnya.

3.       Metode dan ketentuan tafsir
a.       Metode/pendekatan tafsir
1)      Tafsir bil ma’tsur, yaitu penafsiran berdasarkan sanad[25] dan periwayatan[26] yang meliputi tafsirul qur’an bil qur’an, tafsirul qur’an bis sunnah, dan tafsirul qur’an bi  aqwal al sahabat[27].
2)      Tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran dengan menggunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung di dalamnya[28]. Rif’at menyebutnya tafsir bid dirayah dan atau tafsir bil ijtihad yaitu penafsiran berdasarkan ijtihad[29].
3)      Tafsir bil Isyarah atau disebut isyari  yaitu tafsir berdasarkan isarat tertentu, dan mencampur antara makna dohir dan batin[30], yang pola pemahamannya tidak berpijak pada makna dohir melainkan pada makna yang tersirat (isyarah) yang Nampak bagi mereka yang menekuni dunia tasawuf[31].
b.      Ketentuan
Menurut tengku Zulkarnain, bahwa untuk menafsirkan Al Qur’an hendaknya menguasai beberapa ilmu, diantarannya ; lughot, nahwu, sharf, isytiqoq, ma’ani, bayan, badi’, qiraat, ‘aqaid, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh mansukh, fiqh, dan hadits[32].
Sebagaimana dikutip Gus Aa, Quraisy Shibah mengatakan beberapa prinsip pokok dalam menafsirkan Al Qur’an, antara lain;
1)      Setiap muslim/setiap orang wajib untuk mempelajari kitab sucinya, namun bukan berarti bebas menafsirkan dan menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi persyaratan.
2)      Berpikir secara modern, tidak berarti menafsirkan secara spekulatif/ terleps dari kaidah yang telah disepakati ulama[33].
Dalam tafsir bil ma’tsur harus mengetahui ilmu jarh wa ta’dil karena dalam hal ini ada; a) pemalsuan riwayat, b) masuknya israilliyat, c) dan penghapusan sanad. Sedangkan dalam tafsir bir a’yi harus memahami tafsir bil ma’tsur dan persyaratan tersebut diatas juga tentang ta’arudlul ayat wal hadits[34]. Penulis menambahkan ilmu munasabtil qur’an.

B.      Penafsiran Al Qur’an dengan hermeneutic?
1.       Perbedaan antara tafsir dan hermeneutika
Muhammad saw sebagai penerima wahyu Al Qur’an sudah barang tentu memahami Al Qur’an karena dengan bahasanya sendiri. Allah Swt. telah memberikan otoritas kepada Rasulullah Saw. untuk menjelaskan arti dan kandungan al-Quran kepada umatnya.
(ﻭﺃﻨﺰﻠﻨﺎ ﺇﻠﻴﻚ ﺍﻠﺬﻜﺭ ﻠﺗﺒﻴﱢﻦ ﻠﻨﺎﺱ ﻤﺎﻨﺰﱢﻝ ﺇﻠﻴﻬﻢ ﻮﻠﻌﻠﻬﻢ ﻴﺗﻓﻜﺮﻮﻦ)
Maka Nabi merupakan the first interpreter of The Holy Qoran dengan penafsiran yang sederhana dan penjelasan berdasar makna bahasa yang primer dan menucukupkan penafsiran secara global[35].
Meskipun demikian Rasulullah Saw. tidak mengurai arti al-Quran secara keseluruhan, melainkan apa yang susah dipahami oleh para sahabat saja. Penjelasan beliau Saw. terhadap ayat-ayat al-Quran terdokumentasikan dalam bentuk hadits atau sunnah yang diriwayatkan dari generasi ke generasi.
Dalam Makalah Angga Prilakusuma disajikan komparasi hermenutika dan tafsir, sedikit penulis rangkum dan perjelas sebagai berikut;
a.       Jika dilihat dari faktor munculnya hermeneutika, ide untuk menerapkan hermeneutika muncul karena desakan rasionalisasi yang dipelopori oleh filsafat Yunani waktu itu dimana Syair Homer yang dianggap mengandung pesan Ilahi, keotentikan teks kitab suci Yahudi dan Nasranai, pengaruh lingkungan penuliskitab suci maka dibutuhkanlah hermeneutika untuk “mendamaikan”.
b.      Dari segi pewahyuan, al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa peran Nabi Saw. dalam proses pewahyuan adalah pasif. Nabi Saw. hanya menerima wahyu tanpa merubah redaksinya sedikit pun. Bahkan Allah Swt. sendiri telah menyampaikan ancamannya terhadap Rasulullah Saw. jika beliau Saw. lancang mengutak-atik wahyu yang diturunkan padanya. Artinya tetap utuh.
c.       Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sebab tak mungkin kita menyelidiki sisi psikologis Tuhan sesuai konsep Schleiermacher misalkan. Atau menelusuri komponen sejarah yang mempengaruhi Tuhan, seperti teori  Dilthey. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt.
d.      Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa Arab. Tafsir bi al-ra’yi dan alisyârî pun disyaratkan untuk tidak menafikan dan menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika, interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana kedua factor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian factor tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.
e.      Jika dibandingkan antara tafsir dan hermeneutika, tafsir lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al- Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir. Akibat masalah otentisitas Bibel, agama Yahudi dan Kristen tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang berotoritas. Karena itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Ironisnya, ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno[36].
f.        Yayan Nurbayan menambahakan, Implementasi Hermeneutika dalam Islam berbeda dengan Hermeneutika dalam dunia Kristen. Dalam Kristen digunakan untuk mencari orsinialitas kitab suci. Dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran. Dan kebenaran dari suatu tafsir hanya Allah yang mengetahui (sehingga seorang mufassir sehebat apapun akan berkata Wallahu a’lam).
a.       Dalam Islam wahyu (revelation) menempati posisi penting. Rasio an sich sebagai sumber inspirasi seperti pendapatnya Habermas berbeda dengan Islam yang menempatkan wahyu dan rasio sekaligus yang berfungsi sebagai sumber dan penjelas termasuk juga ilmu pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan epistemologi Hermeneutika Kritis dan Islam[37].
2.       Wilayah tafsir dan hermeneutika
Jika kita melihat pengertian ilmu Tafsir di atas serta pengertian Hermeneutika sebelumnya kedua ilmu ini sama-sama membahas tentang makna pada teks. Hanya saja ilmu Tafsir khusus digunakan untuk memahami kandungan makna teks al Quran. Selain itu, perangkatnya (ilmu-ilmu) pun sangat banyak. Dari segi ilmu bahasa (nahwu, shorof, balaghoh) itu bisa juga digunakan untuk mempelajari teks-teks selain Al Qur’an, namun ketika ilmu tersebut saja yang digunakan untuk menginterpretasikan suatu ayat  Al Qur’an, ternyata masih sangat kurang dan tidak bisa.
Tafsir al-Quran tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Para ulama telah menggariskan persyaratan yang amat ketat untuk menjadi seorang mufassir. Persyaratan tersebut tidak hanya mencakup segi ilmu dan intelektualitas, tapi juga mempertimbangkan dimensi spiritual.
Hermeneutika lebih mengutamakan rasio/ akal, dan mencurigai segala sesuatu sehingga membutuhkan riset untuk membuktikan kebenaran. Sedangkan dalam Islam rasio bukanlah sumber utama, melainkan wahyu. Hermeneutika lebih cocok untuk teks-teks di luar Al Qur’an, yaitu teks-teks yang diragukan keotentikannya dan teks-teks yang saling berbenturan satu sama lain, sedangkan Al Qur’an tidak. Sementara itu ada beberapa batasan bagi hermeneutika;
1) sebagai metodologi filologi
2) sebagai teori penafsiran kitab suci
3)sebagai ilmu pemahaman linguistic
4) sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sejarah
5) sebagai fenomenologi desain dan pemahaman eksistensial
6) sebagai system penafsiran[38]


BAB V
KESIMPULAN
Setelah mengetahui definisi hermeneutika, manfaat, sejarah perkembangannya, dan aplikasinya serta perbandingan dengan tafsir Al Qur’an dalam Islam, di penghujung makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa hermeneutika mempunyai latar belakang dan metode yang berbeda bahkan cenderung bertentangan dengan karakter al- Quran, tafsir, serta pandangan hidup Islam. Karena itu hermeneutika tidak dapat diterapkan sebagai metode tafsir al-Quran. Mengapa?
1.       Al Quran adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT. Padanya terdapat petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia dan merupakan mukjizat, serta keotentikannya tidak terbantahkan karena Allah swt sendirilah yang menjaga. Jika kita menerima hermeneutika sebagai instrumen untuk menafsirkan al Quran, maka keyakinan tersebut akan runtuh.
2.       Jika kita menerima Hermeneutika dalam penafsiran al Quran maka akan muncul sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran al Quran.
3.       Ulama telah menentukan metode dan alat yang diperlukan untuk menafsirkan/ menginterpretasikan suatu ayat Al Qur’an dengan standarisasi yang ketat, sehingga tidak memerlukan hermeneutika.



DAFTAR PUSTAKA
Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, 1992, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta
Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca dan Memmahami Konstruksi Al Qur’an, Indomedia Group, Jakarta
Musyrifah Sunanto, 2003, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Kencana, Bogor
Munthoha, dkk, 1998, Pemikiran da Peradaban Islam, UII press, Yohyakarta.
Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD, Yogyakarta
Ibnu Khaldun, penerjemah Ahmadie Thoha, 2000, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Jakarta
Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit Umat Masa Kini Jawaban Atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi), Yayasan Al Hikmah, Jakarta
Internet :


lampiran 1

Hal-hal  yang mempengaruhi lahirnya hermeneutika
menurut Weaner

1.       Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani
2.       Masyarakat Yahudi dan Nasrani dengan masalah kitab suci
3.       Masyarakat Eropa zaman pencerahan

Penulis buat dalam peta konsep berikut;



 















Lampiran 2



Sejarah hermenenutika menurut Hamid Fahmi Zarkasyi


 





Lampiran 3

Perubahan ranah hermeneutika


 











Lampiran 4
Perubahan Objek Hermeneutika
 








Lampiran 5
Perbedaan Tafsir dan Hermeneutika


TAFSIR
HERMENEUTIKA
1.       Berangkat dari kosakata
2.       Menafsirkan makna kata yang belum dipahami.
3.       Pendekatan nalar & wahyu
4.       Sumber yang jelas & otentik
5.       Mempunyai fondasi penafsiran yang kuat (Qur’an, Rosul, &sahabat)
6.       Jalur transmisi yang jelas dan terpercaya
7.       Syarat dan metode tafsir yang ketat
8.       Tafsir khusus pada Al Qur’an
9.       Tidak sembarang orang
1.       Keotentikan dan kebenaran teks suci diragukan
2.       Membuktikan keotentikan teks suci
3.       Mendamaikan pertentangan antar teks suci
4.       Berangkat dari kerancuan teks suci
5.       Pendekatan nalar
6.       Menyamakan semua teks
7.       Perbedaan ruang, waktu, internal penafsir, ilmu, poitik sangat berpengaruh dan menjadikan hermeneutika bernilai relative.
8.       Tepat untuk teks-teks buatan manusia
9.       Siapa saja bisa berinterpretasi




[1] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD, Yogyakarta, hal 15-17.
[8] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD, Yogyakarta, hal. 17.
[10] Ilmu tentang tata bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarahyang terdapat  di bahan-bahan tertulis.
[12] Edi Mulyono, ibid.  hal 20
[15]  Musyrifah Sunanto, 2003, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Kencana, Bogor, hal. 59
[16] Ibnu Khaldun, penerjemah Ahmadie Thoha, 2000, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Jakarta. Hal 550-553
[17] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD, Yogyakarta, hal. 17
[18] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, 1992, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 145-146.
[19] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, 1992, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 145-146.
[20] Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca dan Memmahami Konstruksi Al Qur’an, Indomedia Group, Jakarta, hal. 2
[23] Rif’at Syauqi Nawawi, Ibid, hal. 139-143
[24] Ibid, hal 143-144
[25] Maksudnya diisnadkan pada penafsiran sahabat,tabiin dan tabiit tabiin.
[26] Munthoha, dkk, 1998, Pemikiran da Peradaban Islam, UII press, Yohyakarta, hal. 43
[27] Rif’at Syauqi Nawawi, ibid, hal. 151
[28] Musyrifah Sunanto, 2003, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Kencana, Bogor, hal 60
[29] Munthoha, ibid
[30] Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca dan Memmahami Konstruksi Al Qur’an, Indomedia Group, Jakarta, hal 2
[31] Rif’at, ibid, hal 156
[32] Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit Umat Masa Kini Jawaban Atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi), Yayasan Al Hikmah, Jakarta, hal. 34-37
[33] Gus Aa. Ibid,  hal 26-27
[35] Gus AA, ibid, hal. 8
[38] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, 2013, Belajar Hermeneutika, IRCiSoD, Yogyakarta, hal 20-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar